Laporan Resmi Praktikum Biokimia
Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut
Sargassum sp.
Disusun Oleh :
Hapsari Titi Mumpuni
26020111140086
Kelompok III
Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
Semarang
2012
Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut
Sargassum sp.
Disusun Oleh :
Hapsari Titi Mumpuni
26020111140086
Kelompok III
Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
Semarang
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai riset tentang pangkajian manfaat rumput laut telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah manfaat rumput laut sebagai penghasil alginat. Sebagaimana telah banyak diketahui alginat merupakan karbohidrat yang dihasilkan oleh rumput laut. Dalam dunia industri alginate banyak digunakan dalam pembuatan agar-agar. Oleh karena itu zat ini mulai dipandang sebagai sumber zat yang mempunyai nilai ekonomis.
Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.
Produksi alginat secara komersial telah dilakukan oleh beberapa negara maju menggunakan alga dari kelas Phaeophyceae (alga coklat) sebagai bahan bakunya. Produksi alginat sebagian besar berasal dari Amerika Serikat yang melakukan panen rumput laut dari jenis Macrocystis pyrifera di sepanjang pantai California Selatan. Produksi kedua terbesar berasal dari Inggris, yaitu dari jenis Laminaria hyperborea dan Ascophyllumnodosum (http://www.banten.go.id/forum/index.php?action=profile;u=104;sa=showPosts).
Algin merupakan komponen utama dari getah alga coklat (Phaeophyceae) yang diperoleh dengan cara melarutkannya dalam alkali larutan natrium karbonat. Dalam praktikum ini algin akan diekstraksi dari rumput laut Sargassum sp . Pada rumput laut ini alginat ditemukan bersenyawa dengan sodium membentuk sodium alginat. Dengan mengetahui cara memperoleh alginat melalui ekstraksi, kita dapat mengetahui bahwa rumput laut ini memiliki nilai ekonomis yang potensial untuk dapat dikembangkan.
Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Mengisolasi alginat dari rumput laut Sargassum sp.
1.2.2 Manfaat
Dengan mengetahui cara-cara ekstraksi alginate yang ada didalam Rumput laut Sargassum sp., dapat kita ketahui bahwa didalam rumput laut terdapat zat-zat yang bermanfaat dan potensial dari segi produksi dan ekonomi. Selain itu juga dapat kita pahami cara-cara pemisahan alginate dari rumput laut itu sendiri sehingga dapat kita kembangkan di masa yang akan datang.
\
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut
Rumput laut sebenarnya adalah ganggang. Disebut rumput laut karena lebih dikenal dalam dunia perdagangan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut seaweed. Pemberian nama rumput laut sebenarnya kurang tepat, karena secara botanis ganggang tidak termasuk dalam golongan rumput (graminae). Walaupun demikian, karena sudah menjadi istilah umum maka untuk seanjutnya dan seterusnya yang berkenaan dengan alga digunakan istilah Rumput Laut (Sadhori,1992).
Rumput Laut (seaweeds) atau alga makro tumbuh di perairan laut yang memiliki substrat keras dan kokoh yang berfungsi sebagai tempat melekat. Tumbuhan rumput laut ini hanya dapat hidup di perairan apabila cukup mendapatkan cahaya. Pada perairan yang jernih, rumput laut dapat tumbuh hingga kedalaman 20-30 meter. Nutrien yang diperlukan oleh rumput laut dapat langsung diperoleh dari air laut. Nutrien tersebut dihantarkan melalui mekanisme upwelling, turbulensi dan masukan dari daratan. Rumput laut memiliki produktivitas yang cukup besar, dan hewan pemangsa langsung rumput laut relatif sedikit. Diperkirakan bahwa produksi bersih rumput laut yang memasuki jaring makanan melalui pemangsaan (grazing) hanya 10%, sedangkan sisanya sebesar 90% masuk melalui rantai bentuk detritus atau bahan organik terlarut (Nybakken, 1986).
2.2 Rumput Laut Coklat (Phaeophyta)
Ganggang coklat atau Phaeophyceae adalah adalah salah satu kelas dari berdasarkan zat warna atau pigmentasinya. Pigmen yang lebih dominan adalah pigmen xantofil yang menyebabkan ganggang berwarna coklat. Pigmen lain yang terdapat dalam Phaeophyceae adalah klorofil dan karoten. Semua ganggang coklat berbentuk benang atau lembaran, bahkan ada yang menyerupai tumbuhan tingkat tinggi dengan bagian-bagian serupa akar, batang, dan daun. Umumnya ganggang coklat bersifat makroskopis, dan dapat mencapai ukuran lebih dari 30 meter, dan mempunyai gelembung-gelembung udara yang berfungsi sebagai pelampung. Hampir semua ganggang coklat terdapat di laut terutama di laut yang dingin (Sadhori, 1992).
Taksonomi
Kerajaan : Chromalveolata
Filum : Heterokontophyta
Kelas : Phaeophyceae
Perkembangbiakan ganggang coklat
Perkembangbiakan vegetatif (aseksual) dengan fragmentasi dan pembentukan spora (aplanospora dan zoospora). Zoospora yang dihasilkan memilki 2 flagel yang tidak sama panjang dan terletak di bagian lateral. Perkembangbiakan generatif (seksual) dengan isogami, anisogami, atau oogami (Sadhori, 1992).
Contoh ganggang coklat
Fucus vesiculosus, banyak terdapat di laut dalam. Ganggang ini berkembangbiak secara oogami dengan menghasilkan sel gamet betina (ovum) dan sel gamet jantan (spermatozoid) . Sel gamet jantan dan betina masing-masing dihasilkan oleh tumbuhan yang berbeda. Sel gamet dihasilkan oleh alat pembiak yang disebut konseptakel. Konseptakel ini berkumpul dalam badan penghasil alat pembiak yang disebut reseptakel. Reseptakel dibentuk di ujung lembaran/talus fertil.
Sargasum siliquosum, hidup dengan baik di tepi laut yang dangkal. Umumnya menempel pada batu karang. Di pantai yang bersuhu sedang, sargasum tumbuh subur sehingga menutupi permukaan laut. Laut yang demikian disebut laut sargaso.
Turbinaria australis, hidup dengan baik di tepi laut yang dangkal. Umumnya menempel pada batu karang.
Fucus distichus
Laminaria
Macroystis
Susunan Tubuh
Pada umumnya Phaeophyceae memiliki tingkat labih tinggi secara morfologi dan anatomi diferensiasinya dibandingkan keseluruhan alga. Tidak ada bentuk yang berupa sel tunggal atau koloni (filamen tidak bercabang). Susunan tubuh yang paling sederhana adalah filamen heterotrikus. Struktur talus yang paling kompleks dapat dijumpai pada alga pirang yang tergolong kelompok (Nereocystis, Makrocystis, Sargassum). Pada alga terdapat diferensiasi eksternal yang dapat dibandingkan dengan tumbuhan berpembuluh. Talus pada alga ini mempunyai pelekat menyerupai akar., dan dari alat pelekat ini tumbuh bagian yang tegak dengan bentuk sederhana atau bercabang seperti pohon dengan cabang yang menyerupai daun dengan gelembung udara.
Walaupun ganggang coklat ini mempunyai organisasi badaniyah yang lebih kompleks daripada ganggang lain, tetapi tumbuhan ini bukan merupakan tumbuhan yang telah berhasil berkolonisasi pada lahan kering. Alasan kesimpulan ini ialah bahwa kombinasi pigmen-pigmen fotosintesis, sifat cadangan karbohidratnya dan pembentukan flagel pada tahap-tahap perkembangbiakannya berbeda dengan yang dijumpai pada kelompok tumbuhan darat manapun (Sadhori, 1992).
Ciri-ciri
Phaeophyta, atau ganggang coklat, biasanya dicirikan oleh tiga sifat yaitu: (1) Adanya pigmen coklat, yaitu fukoxantin, yang menutupi warna hijau pigmen fotosintesisnya, klorofil a dan c; (2) Hasil fotosintesis terhimpun dalam bentuk laminarin (diberi nama menurut marga Laminaria); dan (3) Adanya sebuah flagel cambuk dan pada gamet jantan berflagel dua, satu-satunya bagian yang dapat bergerak dalam daur hidupnya, flagel-flagel itu keluar dari sisi sel (Sadhori, 1992).
Habitat
Phaeophyceae pada umumnya hidup dilaut, hanya beberapa jenis saja yang hidup di air tawar dan anggota-anggotanya berkisar dari yang berfilamen bercabang sederhana sampai gulma laut yang kompleks, seperti Sargassum, yang kerumitan organisasinya melebihi ganggang-ganggang lain, dan tentu saja melebihi juga banyak tumbuhan darat.
Sebagian besar Phaeophyceae merupakan unsur utama yang menyusun vegetasi alga di lautan Arktik dan Antartika, tetapi beberapa marga sepeti Dictyota, Sargassum, dan Turbinaria merupakan alga yang khas untuk lautan daerah tropis (Sadhori, 1992).
Perkembangbiakan
Menurut (Sadhori, 1992), reproduksi dapat dilakukan secara vegetatif, sporik, dan gametik.
Reproduksi Vegetatif
Reproduksi vegetatif umumya dilakukan dengan fragmentasi talus.
Reproduksi Sporik
Semua anggota dari Phaeophyceae kecuali anggota dari bangsa fucales melakukan reproduksi secara sporik dengan zoospora atau aplanospora yang masing-masing tidak berdinding. Zoospora dibentuk dalam sporangium bersel tunggal (unilokular) atau bersel banyak (Plurilokular). Perkembangan dari sporangia yang unilokular dimulai dengan membesarnya sel terminal dari cabang yang pendek. Pada sporangia terdapat inti tunggal yang mengalami pembelahan meiosis diikuti dengan pembelahan mitosis. Ketika pembelahan inti berhenti, terjadilah celah yang membagi protoplas menjadi protoplas berinti tunggal. Masing-masing protoplas mengalami meteamorfose menjadi zoospora. Alat reproduksi yang plurilokular juga terbentuk dari sel terminal dari cabangnya. Sel ini mengadakan pembelahan tranversal berulang-ulang sehingga terbentuk sederetan sel yang terdiri dari 6-12 sel. Pembelahan sel secara vertikal dimulai dari sel yang letaknya di tengah.
Reproduksi Gametik
Reproduksi gametik dilakukan secara isogami, anisogami, dan oogami. Gamet biasanya dibentuk dalam gametamia yang prolikuler atau yang unilokuler pada gametofit. Zigot yang terbentuk tidak mengalami masa istirahat dan langsung membentuk sporofit setelah lepas dari gametofit. Pada beberapa bangsa seperti laminariales reproduksinya secara oogami. Anteredium bersifat prolikuler misalnya pada Dictyota dan unilokuler pada Laminaria. Pada phaeophyceae terdapat tiga tipe daur hidup:
Tipe isomorfik, fase sporofit dan ganetofit morfologinya identik
Tipe heteroorfik, sporofit dan gametofit morfologinya berbeda
Tipe diplontik
Daur Hidup
Pada Phaeophyceae terdapat tiga tipe daur hidup :
Tipe Isomorfik
Pada tipe ini gametofit dan sporofit mempunyai bentuk dan ukuran yang relative sama satu samalain.
Contoh: Ectocarpales, Dictyotales.
Ectocarpales mempunyai pergantian keturuan yang isomorf dan mempunyai tubuh yang berbentuk filament yang bercabang membentuk jaringan pseudoparenkimatik. Sporofit mengeluarkan zoospora dan dan spora netral, sedang gametofit membentuk gamet yang isogami dan anisogami.
Daur hidup Ectocarpus, menurut (Setiawan, 2004).adalah sebagai berikut :
Tipe Heteromorfik
Pada tipe ini, sporofit berkembang dengan baik dan berukuran makroskopik, sedang gametofitnya berukuran mikroskopik. Berbentuk filamen yang hanya terdiri dari beberapa sel saja. Misalnya, anggota yang tergolong dalam bangsa laminariales.
Anggota dari bangsa laminariales mempunyai pergantian keturunan yang heteromorfik dengan sporofit yang selalu lebih besar dari pada gametofitnya yang ukurannya selalu mikroskopik. Dari marga ke marga gametofik ini identik satu sama lainnya, sehingga yang tampak di lapangan adalah sporofitnya. Pengetahuan yang menyangkut gametofik dari ganggang ini diperoleh dengan menggunakan kultur yang dimulai dari zoospora yang dikeluarkan oleh sporanya yang unilokular.
Pada umumnya merupakan jenis yang tahunan. Sporofit terbagi menjadi alat pelekat, tangkai dan helaian. Alat pelekat umumnya merupakan cabang-cabang yang dikotom, disebut haptera. Tangkai tidak bertangkai, silindris atau agak memipih, di ujung tangkai ini terdapat helaian yang utuh atau terbagi vertikal menjadi beberapa segmen. Tangkai terdiri dari medulla (bagian tengah) dan korteks (bagian tepi) dikelilingi selapis sel menyerupai epidermis.
Sporofit mempunyai sporangia yang unilokular dan terdapat pada beberapa helaian. Sporangia berbentuk gada. Inti dari sporangia muda mula-mula membelah secara meiosis (reduksi) yang diikuti oleh pembelahan mitosis sampai terbentuk 32-64 inti. Protoplas terbagi menjadi protoplas yang masing-masing berinti tunggal dan mengadakan metamorphose menjadi zoospora. Setelah berenang beberapa lama zoospora membulat membentuk dinding dan kemudian membentuk buluh kecambah serta tumbuh menjadi gametofit yang berbentuk filamen yang terdiri dari beberapa sel. Pada Laminaria saccharina, penentuan jenis kelamin gametofit terjadi pada saat terjadi pembelahan reduksi, separuh dari zoospora membentuk gametofit jantan, sedang separuhnya lagi membentuk gametofit betina. Gametofit jantan dan betina, keduanya membentuk alat kelamin setelah gametofit mencapai panjang 2-3 sel. Terjadinya pembuahan tergantung pada suhu. Gametofit membentuk banyak sekali anteredia pada ujung cabang-cabangnya. Masing-masing anteredium hanya terdiri dari satu sel, protoplasnya hanya akan membentuk lanterozoid. Oogonium hanya akan membentuk satu sel telur. Sel telur menonjol keluar, tetapi tetap melekat pada lubang di ujung dinding oogonium. Anterozoid berenang menuju sel telur dan bersatu lalu diikuti dengan persatuan inti. Dari zigot yang terbentuk, akan tumbuh menjadi sporofit yang diploid. Bentuk dari sporofit sangat berbeda dengan gametofitnya (Setiawan, 2004).
Tipe Diplontik
Tipe ini tidak menunjukkan adanya pergantian keturunan. Siklus hidupnya bersifat diplontik. Fase haploid hanya terdapat pada gametnya. Comtoh: Fucales.
Di antara jenis-jenis Phaeophyceae, golongan Fucales ini adalah unik, karena tidak mempunyai keturunan yang membentuk spora. Disini hanya ada satu keturunan yaitu tubuh yang diploid, dengan demikian tidak mempunyai pergantian keturunan. Meiosis terjadi sebelum gametogenesis, jadi yang bersifat haploid hanya gametnya. Adapula yang menganggap keturunan yang diploid tadi sebagai sporofit dan spora yang dihasilkan sporangianya akan berfungsi sebagi gamet. Gamet jantan (anterozoid) berflagela dua buah yang letaknya di bagian lateral. Gamet dibentuk dalam anteredium, gamet betina berupa sel telur yang dibentuk dalam oogonium. Jadi perkembangbiakannya secara oogami. Anteredium atau oogonium dibentuk dalam konsep takel. Pada umunya terkumpul dalam satu cabang yang menggelembung, cabang-cabang ini disebut reseptakel.
Bangsa ini terdiri dari tiga suku; yaitu Fucaeae, Cystoseiraceae, dan Sargasseaceae.
Sebelum terjadi pembuahan, banyak anterozoid mengelilingi sel telur. Pada ganggang ini terbentuk 8 sel telur. Biasanya hanya satu anterozoid yang masuk ke dalam sel telur. Dalam waktu satu jam kedua inti melebur dan terjadilah inti yang diploid. Zigot segera membentuk dinding yang berlendir dan dapat melekat pada substrat. Zigot kemudian membentuk tonjolan yang akan menjadi rizoid, hingga menunjukkan adanya polaritas. Faktor luar sepeti cahaya, temperatur, PH, dan adanya zat pengatur di dalam sel telur merupakan faktor perangsang bagi terjadinya polaritas. Karena adanya cadangan makanan yang cukup di dalam sel telur, maka mula-mula pertumbuhan embrio cepat, tetapi pertumbuhan menjadi lambat karena tergantung pada fotosintesa. Tubuh yang terbentuk bersifat diploid dan pembelahan reduksi terjadi waktu gametogenesis. Jadi daur hidupnya bersifat diplontik (Rutland, 1983).
2.3 Sargassum sp.
Sargassum sp. merupakan jenis rumput laut dari ordo Fucales dan merupakan alga dari perairan tropik dan sub tropik. Beberpa jenis atau varietasnya terdapat dalam jumlah besar di laut Sargasso. Rumput laut ini berasal dari daerah pantai (Lehninger, 1982).
Di perairan Indonesia terdapat sekitar 28 spesies rumput laut coklat yang berasal dari enam genus diantaranya yaitu Dyctyota, Padine, Hormophysa, Sargassum, Turbinaria dan Hydroclathrus. Spesies rumput laut yang telah diidentifikasi yaitu Sargassum sp. sebanyak 14 spesies, Turbinaria sebanyak 4 spesies, Hormophysa baru teridentifikasi 1 spesies, Padina 4 spesies, Dyctyota 5 spesies dan Hydroclathrus 1 spesies. Jenis-jenis rumput laut tersebut tersebar pada beberapa daerah di Indonesia.
Lingkungan tempat tumbuh algae Sargassum terutama di daerah perairan yang jernih yang mempunyai substrat dasar batu karang, karang mati, batuan vulkanik dan benda-benda yang bersifat massive yang berada di dasar perairan. Algae Sargassum tumbuh dari daerah intertidal, subtidal sampai daerah tubir dengan ombak besar dan arus deras. Kedalaman untuk pertumbuhan dari 0,5 – 10 m. Marga Sargassum termasuk dalam kelas Phaeophyceae tumbuh subur pada daerah tropis, suhu perairan 27,25 – 29,30 oC dan salinitas 32–33,5‰. Kebutuhan intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga algae merah.
Boney (1965) menyatakan pertumbuha Sargassum mebutuhkan intensitas cahaya matahari berkisar 6500 – 7500 lux. Algae Sargassum tumbuh berumpun dengan untaian cabang-cabang. Panjang thalli utama mencapai 1 – 3 m dan tiap-tiap percabangan terdapat gelembung udara berbentuk bulat yang disebut “Bladder,” berguna untuk menopang cabang-cabang thalli terapung ke arah permukaan air untuk mendapatkan intensitas cahaya matahari (Setiawan, 2004).
Jenis-jenis Sargassum sp. yang dikenal di Indonesia ada sekitar 12 spesies, yaitu Sargassum duplicatum, S. histrix, S. echinocarpum, S. gracilimun, S. obtusifolium, S. binderi, S. policystum, S. crassifolium, S. microphylum, S. aquofilum, S. vulgare, dan S. polyceratium (Kadi dan Atmadja 1988).
2.4 Alginat
Hasil fotosintesis yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat diekstrak dari Sargassum sp. adalah alginat yaitu garam dari asam alginat yang mengandung ion sodium (natrium), kalium dan kalsium (Kadi dan Atmadja 1988). Asam alginat ini merupakan senyawa organik kompleks yang termasuk golongan polisakarida (Chapman, 1980). Komposisi kimia Sargassum sp. berdasarkan hasil penelitian Luhur (2006) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Sargassum sp.
Komposisi kimia Persentase (%)
Karbohidrat 19,06
Protein 5,53
Lemak 0,74
Air 11,71
Abu 34,57
Serat kasar 28,39
Sumber : Roswien (1991) diacu dalam Luhur (2006)
Algin merupakan polimer murni dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linier yang panjang (Winarno, 1990). Bentuk alginat yang paling banyak dijumpai adalah natrium alginat yaitu suatu garam alginat yang larut dalam air. Jenis alginat lain yang larut dalam air adalah kalium atau ammonium alginat, sedangkan alginat yang tidak larut dalam air adalah kalsium alginat (Zailanie et al., 2001).
Kandungan alginat dari rumput laut cokelat sangat bervariasi tergantung dari tingkat kesuburan perairan, musim, bagian dari tanaman yang diekstrak dan jenis rumput laut. Upaya memproduksi alginat di Indonesia masih belum optimal, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian guna meningkatkan kandungan alginat, diantarnya melalui optimasi ekstraksi alginat (King, 1983).
2.5 Manfaat Alginat
Indriani dan Sumiarsih (1994), menyatakan bahwa algin banyak digunakan dalam industri:
Makanan: pembuatan es krim, serbat, susu es, roti, kue, permen, mentega, saus, pengalengan daging, selai, sirup dan puding.
Farmasi: tablet, salep, kapsul, plaster, filter.
Kosmetik: krem, losion, sampo, cat rambut.
Tekstil, kertas, keramik, fotografi, insektisida, pestisida, dan bahan pengawet kain
Natrium alginat digunakan sebagai bahan obat-obatan, kosmetik, cat, semir mobil, dan insektisida. Pada industri cat natrium alginat berfungsi sebagai pensuspensi pigmen, penstabil emulsi, meningkatkan daya rekat, dan menyebabkan permukaan cat lebih baik. Cat yang mengandung alginat juga dapat mengurangi pengaruh terhadap perubahan suhu. Salah satu penggunaan alginat yang sangat penting terutama di Amerika Serikat yaitu sebagai penstabil yang dapat memberikan kehalusan kulit. Penggunaan alginat sebagai penstabil harus dalam larutan alkali sebab jika dalam larutan asam akan membentuk gel. Selain itu alginat juga digunakan dalam industri makanan, minuman, pengolahan ikan, fiber, dan film (Sadhori, 1992).
Industri tekstil dan kertas menggunakan alginat untuk pengembang pada permukaan kertas dan pakaian. Alginat juga dimanfaatkan pada proses pengolahan air dalam hal proses flokulasio. Alginat dalam industri makanan dimanfaatkan sebagai pengental, misalnya pada es krim, puding, cake, bir, pengembang foam dan minuman rasa buah. Alginat dalam bidang farmasi dimanfatkan sebagai pengemulsi, pemadat dan pembungkus kapsul (Sadhori, 1992).
BAB III
MATERI METODE
3.1 Waktu Pelaksanaan
Praktikum ini dilaksanakan pada
Hari/ tanggal : Jumat, 25 Mei 2012
Waktu : 10.00 - selesai
Tempat : Laboratorium Biokimia, Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
No Nama Gambar Fungsi
1 Timbangan
Untuk menimbang Sargassum
2 Beker glass
Untuk tempat Sargassum setelah ditimbang
3 Saringan
Untuk menyaring Sargassum dari larutan
4 Kompor Listrik
Untuk memanaskan Sargassum
5 Pengaduk
Untuk mengaduk air rebusan Sargassum
6 Panci Untuk tempat air hasil rebusan Sargassum
7 Gelas Ukur
Untuk mengukur banyaknya larutan yang akan digunakan
8 Termometer
Untuk mengukur suhu
9 Stopwatch
Untuk menentukan waktu pemanasan
10 Kain mori
Untuk meyaring sargassum yang telah diberi Na2CO3
3.2.2 Bahan
No Nama Gambar Fungsi
1 HCl 0,5%
Untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang larut dalam asam dan juga untuk merubah garam alginat dalam rumput laut menjadi asam alginat
2 NaOH 1%
Untuk menghilangkan kotoran yang larut dalam alkali
3 Na2CO3 4%
Untuk mengikat jaringan alginat
4 Sampel Sargassum
Sebagai bahan pembuat alginat
5 Etanol
Untuk mengendapkan sodium alginat
3.3 Cara Kerja
Mengeringkan rumput laut sargassum sp, lalu timbang 50 gr
Memotong dengan ukuran 0,5-0,1 cm
Merendam dengan larutan HCl 0,5 % pada suhu 50 C selama 10 menit, kemudian saring dan cuci
Merendam dengan larutan NaOH 1% pada suhu 50 C selama 10 menit, kemudian saring dan cuci
Melakukan ekstraksi dengan Na2CO3 4% Pada suhu 50 C selama 60 menit. Kemudian saring
Menambahkan NaOCl 12 % ke dalam filtrat, dinginkan pada suhu 10 C
Mengasamkan dengan HCl pekat sampai pH=3, Kemudian saring dan angina-anginkan asam alginat yang diperoleh
Menambahkan larutan NaOH 0,1 N sampai pH=7
Mengendapkan dengan Butanol
Menyaring endapan sodium alginat yang terjadi, kemudian keringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari
Menimbang sodium alginat yang di peroleh
Menghitung kadar alginat dalam Sargassum Sp
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
No Perlakuan Perubahan pada Sargassum
1 Direndam dengan HCl 0,5% pada suhu 50º C selama 10 menit Ukuran sargassum lebih besar/mengembang dari ukuran semula
2 Direndam dalam NaOH 1% pada suhu 50º C selama 10 menit Warna Sargassum lebih pekat (coklat tua)
3 Ekstraksi dengan Na2CO3 4% pada suhu 50ºC selama 1 jam Sargassum sp. warnanya menjadi lebih gelap, teksturnya menjadi empuk
4 Disaring Cairan Sargassum berwarna lebih muda
5 Ditambah NaOCl 12% Warnanya menjadi lebih bening
6 Ditambah HCl pekat Membentuk gel alginat dan berbusa
7 Ditambah NaOH sampai pH = 7 Menjadi lebih encer dan homogen
8 Diendapkan dengan etanol Terbentuk serabut endapan sodium alginat
4.2 Pembahasan
Ekstraksi alginat memerlukan tahapan yang cukup panjang dan setiap tahapan dilakukan untuk tujuan yang berbeda.
Proses ekstraksi alginat juga menggunakan HCl yang berfungsi dalam demineralisasi (Susanto et al., 2001). Dalam percobaan ini digunakan HCl 0,5% untuk merendam, kemudian dipanaskan pada suhu 50º C selama 10 menit. Ukuran sargassum mengembang dari ukuran semula setelah dilakukan perlakuan ini.
Setelah disaring dan dicuci dari HCl, sargassum direndam dalam larutan NaOH 1 % untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang larut dalam alkali. Karena sifat NaOH yang basa. Lalu disaring dan dicuci kembali dengan menggunakan air.
Basmal et al, 2001 mengatakan bahwa Na2CO3 berfungsi untuk mengekstrak kandungan alginat yang terdapat di dalam talus rumput laut coklat. Kecepatan ekstraksi alginat yang ada dalam talus sangat tergantung pada konsentrasi Na2CO3, suhu dan lama waktu ekstraksi yang diberikan (Basmal et al, 1998). Pada perlakuan perendaman dengan Na2CO3 4% pada suhu 50º C selama 1 jam membuat tekstur dari sargassum menjadi lebih lembut seperti bubur dan warna cairan lebih tua. Setelah dilakukan perebusan selama 1 jam, cairan disaring menggunakan kain mori.
Proses selanjutnya adalah menambahkan NaOCl 12% ke dalam filtrat dan didinginkan dari proses ini dihasilkan fitrat yang berwarna bening. Kemudian ditambah HCl pekat sehingga membentuk gel alginat dan berbusa.
Tahapan selanjutnya adalah menambahkan NaOH sampai pH = 7. NaOH senyawa alkali yang berfungsi membentuk natrium alginat dari asam alginat (Basmal et al., 2001). Filtrat diaduk sehingga menjadi lebih encer dan homogen.
Untuk mengendapkan sodium alginat yang didapat, digunakan etanol sehingga terbentuk serabut-serabut endapan sodium alginat. Sodium alginat yang terbentuk kemudian disaring.
Sodium alginat yang diperoleh ditimbang kemudian dihitung kadarnya :
Rendemen = alginat/(rumput laut) x 100%
Rendemen = 12,5/50 x 100%
= 25%
BAB V
KESIMPULAN
Setelah melakukan praktikum ekstraksi alginat, dapat disimpulkan :
Alginat merupakan senyawa pikokoloid yang mempunyai kemampuan membentuk gel.
Proses ekstraksi alginat dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya, perendaman dengan larutan NaOH dan HCl, ekstraksi dengan Na2CO3, pengasaman dengan penambahan HCl, pemucatan dengan larutan NaOCl, pengendapan, pemurnian dan pengeringan.
Hasil ekstraksi dari 50 gram sargassum diperoleh garam alginat sebanyak 12,5 gram dan rendemen alginat sebanyak 25%.
DAFTAR PUSTAKA
Chapman, V.J. and D.J. Chapman. (1980). Seaweed and Teir Uses Third Edition. Chapman and Hall.
Indriani, H dan E. Sumiarsih. 1994. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Kadi, A., dan W.S. Atmadja 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca panen. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta : 71 pp.
King, H.K. 1983. Brown Seaweed Extract (Alginates). In Glicksman M (ed). Food Hydrocolloids. CRC Press Inc, Bocaraton Florida.
Luhur DA. 2006. Pemanfaatan khitosan absorben dalam pembuatan alginat (Sargassum sp). [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Nybakken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Penerjemah: M. Eidman; Koesoebiono; Dietrich; Hutomo dan Sukardjo). PT. Gramedia, Jakarta
Sadhoris, Naryo S. 1992. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka: Jakarta
Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Alga Laut Sebagai Penunjang
Perkembangan Sektor Industri. Makalah Ilmiah Ketua Jurusan Kimia. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Winarno, F.G .1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Zailanie, K., T. Susanto dan B.W. Simon. 2001. Ekstraksi dan Pemurnian Alginat dari Sargassum filipendula Kajian dari Bagian Tanaman, Lama Ekstraksi dan Konsentrasi Isopropanol. Jurnal Teknologi Pertanian 2: 10-2.
http://www.banten.go.id/forum/index.php?action=profile;u=104;sa=showPosts diakses 30 Mei 2012 Pukul 20.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar